KOTA BANJAR, jurnalisbicara.com – Sengketa tanah yang melibatkan Sdr. Adong Bin Gunawan dengan Pemerintah Kota Banjar di Kelurahan Muktisari, Kecamatan Langensari, Kota Banjar, masih belum menemukan titik terang. Kasus ini berawal dari dugaan penyalahgunaan wewenang oleh oknum kepala desa pada masa lalu yang mengambil alih kepemilikan tanah tanpa sepengetahuan pemiliknya.(11/10/2024)
Menurut P. Cahyo Purnomo, S.H., Ketua Tim Advokat LBH DPP AWP yang mewakili Sdr. Adong Bin Gunawan, tanah yang disengketakan merupakan tanah redistribusi yang seharusnya hanya dapat dialihkan melalui hibah yang sah. “Pemilik tanah, yaitu klien kami, tidak pernah merasa menghibahkan tanahnya. Namun, tanah tersebut kini menjadi milik pemerintah Kota Banjar tanpa prosedur yang jelas,” ungkap Cahyo.
Salah satu kendala besar dalam penyelesaian kasus ini adalah meninggalnya oknum kepala desa dan saksi-saksi terkait, yang membuat proses hukum semakin sulit. Peralihan status desa menjadi kelurahan juga menyebabkan tanah yang sebelumnya diklaim milik desa beralih menjadi aset Pemerintah Kota Banjar, menambah kompleksitas masalah.
Meski berbagai upaya mediasi telah dilakukan, termasuk mediasi di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Banjar, pihak Pemerintah Kota Banjar melalui Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Pendapatan Daerah belum memberikan tanggapan positif. “Kami telah beberapa kali mengundang pihak pemerintah untuk hadir dalam mediasi, namun mereka tidak kooperatif,” kata Cahyo Purnomo.
Adong Bin Gunawan bersama ahli waris lainnya hanya meminta kejelasan dan kepastian hukum terkait keabsahan akta hibah yang diduga menjadi dasar peralihan tanah. Mereka juga meminta agar pemerintah Kota Banjar menunjukkan itikad baik untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur mediasi.
Kasus ini mengemuka di tengah penerapan Perpres Nomor 62 Tahun 2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria, yang mengatur redistribusi tanah sebagai upaya mewujudkan keadilan agraria. Tanah yang disengketakan termasuk dalam objek reforma agraria, sehingga penyelesaiannya menjadi penting untuk memastikan keadilan bagi warga yang kehilangan tanah.
“Ini bukan hanya soal tanah, ini soal keadilan bagi warga kecil yang lemah secara ekonomi dan awam hukum. Kami berharap pemerintah segera kooperatif dan menyelesaikan masalah ini,” tegas Cahyo Purnomo.
Sengketa tanah semacam ini banyak terjadi di berbagai daerah sejak era 1960-an hingga 1990-an. Oleh karena itu, LBH DPP AWP terus mendampingi warga yang mengalami permasalahan serupa agar tidak menjadi korban ketidakadilan hukum.(Dani)