Oleh : Ummu Fahhala, S.Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)
PENERAPAN tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12% akan menjadi salah satu kado pahit pada 2025. Banyak kalangan masyarakat menolak, karena berdampak pada kenaikan harga barang dan jasa, apalagi perekonomian rakyat masih sulit, sehingga kehidupan masyarakat semakin terpuruk. Tapi seolah para pembuat kebijakan tak bergeming.
Ulah Kapitalisme
Faktanya, kebijakan pajak atas rakyat dalam berbagai barang dan jasa merupakan kebijakan yang lahir dari sistem kapitalisme. Penarikan pajak dengan segala konsekuensinya merupakan suatu keniscayaan dalam sistem kapitalisme.
Kapitalisme menjadikan pajak sebagai sumber dana pembangunan dan pendapatan negara. Padahal negara memiliki sumber daya alam yang melimpah. Jika dikelola oleh negara secara penuh akan menghasilkan pemasukan yang sangat besar.
Namun, sistem kapitalisme dengan prinsip liberalisasinya, menjadikan negara menyerahkan sumber daya alam tersebut kepada pihak korporat sehingga rakyat kesulitan mengaksesnya.
Di sisi lain, negara hanya berfungsi sebagai regulator bukan pengurus segala urusan umat. Ketika pajak terus dinaikkan, bagaimana nasib 25 juta rakyatnya yang hidup di bawah garis kemiskinan? kenaikan pajak justru akan semakin menjauhkan masyarakat dari kondisi sejahtera.
Solusi Islam
Sangat berbeda dengan sistem Islam, negara dijadikan sebagai periayah atau pengayom rakyat. Rasulullah Saw. bersabda, “Pemimpin (imam) adalah pengurus rakyat (ra’in) dan ia bertanggung jawab atas pengurusannya,” hadis riwayat Al-Bukhari.
Periayahan negara terlihat dari salah satu penerapan sistem ekonomi yang bertanggung jawab menetapkan berbagai sumber pemasukan negara yang melimpah ruah. Pajak sendiri bukanlah sumber pemasukan utama negara, tetapi merupakan alternatif terakhir ketika kas negara mengalami kekosongan, sementara ada hak rakyat yang harus ditunaikan.
Dalam Islam, memungut harta milik rakyat tanpa ada kerelaan dari mereka hukumnya haram. Pada dasarnya, pemasukan rutin Baitul Mal (kas negara) dari pos-pos pendapatan yang telah ditetapkan Allah Swt. sebagai hak rakyat, yakni pos fa’i, kharaj, pos pengelolaan harta-harta milik umum hingga zakat, semuanya cukup untuk membiayai seluruh kewajiban keuangan yang menjadi tanggung jawab negara.
Ketika pemasukan Baitul Mal mampu menutupi semua kewajiban keuangan negara maka negara tidak membutuhkan pungutan pajak dari rakyat. Tetapi, jika pemasukan Baitul Mal tidak mencukupi, sedangkan urusan periayahan rakyat yang wajib tidak dapat terlaksana akibat kosongnya pemasukan Baitul Mal, maka kewajiban pemasukan Baitul Mal beralih kepada rakyat.